Jakarta, KlikDirektori.com | Indonesia merupakan negara pasar digital terbesar di Asia Tenggara, dengan jumlah pengguna internet mencapai 171,17 jiwa, pada akhir tahun 2018 (APJII, 2019). Besarnya jumlah penetrasi internet tersebut telah mendorong pengembangan berbagai inovasi berbasis digital, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Salah satu praktik yang berkembang kaitannya dengan pemanfaatan teknologi itu, ialah kian massifnya pengumpulan data skala besar, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta.
Praktik ini dilakukan untuk berbagai keperluan, mulai dari pengembangan teknologi itu sendiri, perluasan bisnis, hingga perbaikan layanan publik. Jika peningkatan massif dalam pengumpulan data ini tidak dilakukan dalam kerangka penghormatan hak (asasi), tentu proses dan tujuannya akan digunakan dengan cara-cara yang mengesampingkan hak-hak kita. Oleh karena itu, hukum, teknologi, dan praktik lainnya, harus dikerangkakan untuk mengurangi risiko tersebut, antara Iain dengan penyediaan UU Perlindungan Data Pribadi yang komprehensif.
Kehadiran undang-undang ini merupakan respon atas sejumlah kebutuhan dan tantangan permasalahan aktual dalam pemanfaatan data pribadi, dengan memberikan kepastian dan jaminan bagi perlindungan data pribadi setiap warga negara. Sebagaimana kita ketahui, salah satu problem mendasar yang memicu rentannya penyalahgunaan data pribadi di Indonesia, adalah masih centang-perenangnya peraturan perundang-undangan yang terkait dengan data pribadi. Studi ELSAM (2016) mengidentifikasi sedikitnya terdapat 30 undang-undang, yang memiliki keterkaitan dengan data pribadi, dengan prinsip dan rumusan yang berbeda-beda. Akibatnya ada kekaburan istilah dan ruang lingkup data pribadi yang harus dilindungi, dan keseluruhan aturan yang ada, belum sepenuhnya selaras dengan prinsip-prinsip perlindungan data pribadi, bahkan cenderung tumpang tindih satu sama lain.
Belum adanya UU Perlindungan Data Pribadi berimplikasi pada ketidakjelasan aturan mengenai hak-hak dari pemilik data, serta belum adanya kejelasan kewajiban pengendali data dan/atau prosesor data, dalam siklus hidup pengolahan data. Akibatnya pengumpulan data pribadi dalam skala besar, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta, belum sepenuhnya selaras dengan prinsip-prinsip perlindungan data pribadi. Situasi ini misalnya tergambar dalam hasil studi ELSAM (2018), terhadap 10 perusahaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi (telekomunikasi, media sosial, e-commerce, fintech, dan daily-Iife services), yang menemukan sejumlah temuan perihal kesenjangan antara kebijakan privasi dan term of services dari tiap-tiap platform, dengan prinsip-prinsip perlindungan data pribadi. Mayoritas mereka mengatakan, situasi terjadi sebab belum ada kejelasan mengenai mandat dan kewajiban mereka, terkait dengan perlindungan data pribadi dalam hukum Indonesia.
Oleh karenanya menurut Wahyudi Djafar, Deputi Direktur Riset ELSAM, ”perlu percepatan proses pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi, untuk bisa menjawab seluruh kebutuhan perlindungan data pribadi, baik dalam penyelenggaraan pemerintahan maupun aktivitas bisnis”. Ditekankan Wahyudi, “UU Perlindungan Data Pribadi, selain dapat memberikanjawaban atas berbagai kecentang-perenangan di atas, harapannya dapat pula menjadi rujukan yang lebih pasti perihal definisi dan ruang lingkup data pribadi; prinsip-prinsip perlindungan data; hak dari subjek data; pemrosesan data pribadi, termasuk di dalamnya transfer data; kewajiban pengendali dan prosesor data; lembaga regulator dan pengawas dalam implementasi undang-undang; dan aturan yang terkait dengan komplain dan pemulihan”.
Pengesahan UU Perlindungan Data Pribadi juga akan membuka kesempatan yang lebih Iuas bagi Indonesia dalam pengembangan ekonomi berbasis digital, sebagai salah satu fokus utama pemerintahan saat ini. Sebagaimana diketahui, dalam konteks ekonomi digital, seringkali hal yang diperdebatkan di dalamnya adalah terkait dengan persoalan data transfer, yang merupakan pengejawantahan sifat nirbatas dari suatu data. Dalam melakukan transfer data ini, hampir seluruh instrumen perlindungan data, baik di tingkat internasional, regional, maupun mayoritas negara di dunia, menghendaki adanya kesetaraan dalam jaminan perlindungan data pribadi. Oleh sebab itu, jika benar-benar Indonesia akan menjadi bagian penting dalam pengembangan ekonomi digital tersebut, maka keberadaan UU Perlindungan Data Pribadi yang komprehensif adalah sesuatu hal yang niscaya. Dengan undang-undang ini, posisi tawar Indonesia akan lebih kuat dalam setiap proses negosiasi dagang, baik antar-negara, regional, maupun di tingkat global.
Dukungan terhadap pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi di Indonesia ini, disampaikan pula oleh Arianne Jimenez, Privacy & Public Policy Manager, Asia Pacific, Facebook, ”Privasi merupakan hal yang sangat penting bagi Facebook dan kami mendukung pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi yang komprehensif. Dan kami sangat menghargai kesempatan untuk berbagi tentang bagaimana orang-orang Indonesia dapat melindungi data mereka secara online. Besar harapan kami untuk bisa terus berperan aktif dalam berdiskusi dengan berbagai pihak guna membahas mengenai RUU Perlindungan Data Pribadi yang komprehensif, mendukung praktik terbaik dari industri dan selaras dengan kerangka kerja privasi data internasional seperti OECD dan GDPR. Harapan kami, RUU Privasi Data Pribadi ini juga bisa mendorong peluang ekonomi digital secara global yang Iebih luas lagi bagi Indonesia.” ungkap Arianne
Dengan pertimbangan penting dan mendesaknya kebutuhan akan UU Perlindungan Data Pribadi, diperlukan dorongan dan dukungan bagi Pemerintah dan DPR untuk mengakselerasi proses pembahasan RUU ini. Akselerasi ini dibutuhkan mengingat sisa waktu DPR periode ini yang tinggal menghitung hari, sehingga dibutuhkan komitmen dan dukungan dari semua pemangku kepentingan, untuk memastikan kelancaran proses pembahasannya. Dengan komitmen politik yang kuat, khususnya dari pemerintah dan DPR, serta dukungan penuh pemangku kepentingan, RUU ini harapannya dapat disahkan bersamaan dengan berakhirnya masajabatan DPR periode 2014-2019. (pr)