Jakarta, KlikDirektori.com | Tahun 2020, Asia akan menghadapi tantangan yang lebih berat semenjak Perang Dunia ke-2. Pilar-pilar kesejahteraan Asia dan kemampuan pilar-pilar tersebut untuk meningkatkan standar kehidupan dan mengurangi angka kemiskinan sedang berada dalam serangan yang kuat. Oleh karena itu,kepemimpinan yang kuat menjadi kunci untuk menghadapi tantangan-tantangan ekonomi ke depan.
Untuk menjawab tantangan tersebut, simposium Internasional “Asia’s Trade and Economic Priorities 2020” diselenggarakan atas kerja sama IBER dan Asia Bureau of Economic Research (ABER), dan didukung oleh Bank Indonesia Institute, ERIA (Economic Research Institute for ASEAN and Asia), Astra, Sinar Mas dan Tenggara Strategics.
Pada sesi panel pertama dalam simposium ini, terdapat dua pertanyaan kunci: Apa yang menjadi risiko-risiko utama yang sedang dihadapi oleh Ekonomi Asia? Dan apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan ketahanan Ekonomi Asia?
Sesi ini diketuai oleh Peter Drysdale, ketua ABER. Panelis yang bergabung dalam sesi ini adalah Chatib Basri (mantan menteri keuangan Indonesia dan Ekonom Universitas Indonesia), Toshinori Doi (Direktur ASEAN+3 Macroeconomic Research Office – AMRO), Adam Triggs (Direktur Riset ABER) dan David Nellort (Direktur Prospera).
Seluruh panelis sepakat bahwa ketegangan perdagangan antara China dan Amerika Serikat akan banyak berakibat kepada ekonomi-ekonomi di Asia, meski pun efeknya akan bervariasi di setiap negara yang bergantung pada berapa banyak perdagangan yang dilakukan negara-negara tersebut dengan China.
“Melalui rantai nilai global, ekonomi-ekonomi yang terhubung dengan China akan sangat terdampak. Negara seperti Thailand, yang melakukan perdagangan dengan China secara intens akan sangat terdampak oleh perang dagang. Sementara Indonesia dan Jepang tidak akan merasakan banyak dampaknya, “ kata Toshinori Doi.
Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) – China sudah melemahkan pertumbuhan global. Perkiraan IMF – di mana perang dagang bisa melemahkan pertumbuhan PDG global sampai 1 persen di tahun 2019 – dianggap masih meremehkan dampak pelemahan yang dapat ditimbulkan dari perang dagang.
Ketidakpastian yang diciptakan oleh perang dagang telah menunjukkan dampaknya sejak 2017, di mana pertumbuhan perdagangan global dari 4,6 menjadi 2,6 persen dan investasi asing langsung global telah turun 27 persen. Gangguan dalam perdagangan juga mengganggu aliran keuangan dan modal, serta menyebabkan ketidakpastian dalam pelaksanaan kebijakan makro, meskipun butuh bertahun-tahun sebelum dampak secara penuh dapat diketahui.
Pemerintah dan bank-bank sentral di Asia biasanya mengandalkan kebijakan fiskal dan moneter untuk merespons risiko eksternal yang mereka hadapi. Meskipun, ruang untuk kebijakan tersebut telah menyusut baru-baru ini yang membuat kebijakan fiskal dan moneter tidak efektif, kata Chatib Basri selama paparannya.
Lebih lanjut Chatib menunjukkan bahwa Indonesia, dan ekonomi Asia lainnya, harus meningkatkan jaring pengaman global sehingga negara-negara tersebut dapat menyediakan likuiditas yang cukup pada saat krisis. “Sayangnya, ada beberapa stigma seputar meminjam uang dari IMF. Indonesia harus mengabaikan stigma dan mulai memanfaatkan kembali IMF sebagai sumber jaring pengaman finansial globalnya, ”lanjut Chatib.
Jaring keamanan finansial global adalah mekanisme yang menyediakan asuransi
pencegahan terhadap krisis – untuk memasok likuiditas ketika krisis melanda – dan untuk memberikan insentif pada kebijakan ekonomi makro yang sehat. Mekanisme ini terdiri dari empat lapisan: negara-negara dapat mengasuransikan diri terhadap guncangan eksternal menggunakan cadangan devisa atau ruang fiskal di tingkat nasional. Di tingkat bilateral, ada garis swap (Swap Lines) yang disepakati secara bilateral untuk saling membantu dalam menghadapi guncangan finansial. Di tingkat regional, perlindungan berasal dari pengaturan keuangan regional, dan akhirnya IMF memberikan dukungan keuangan global.
Menurut Adam Triggs, Direktur Riset ABER, jaring ini telah meningkat secara signifikan antara 1980 dan 2017 meskipun lebih terfragmentasi dari sebelumnya. Lebih lanjut Adam mengatakan bahwa jika krisis keuangan Asia akan terjadi pada 2019, jaring pengaman saat ini belum cukup untuk membantu ekonomi Asia keluar dari krisis, dan Asia harus segera meningkatkan jaring keamanan finansialnya. (pr)